Melangkah dengan Riang, Menyatu dalam Perjalanan
Subuh, 18 Juli 2025, saat udara segar masih menyelimuti, para adiyuswa GKJ Kanaan mulai berdatangan ke titik kumpul di Puri Beta Dua. Alih-alih wajah mengantuk justru semangatlah yang tampil mencolok. Ada yang mengaku bangun sejak pukul dua dini hari. Ada pula yang tak bisa tidur karena terlalu gembira membayangkan perjalanan yang akan dijalani. Dua bus besar terparkir menanti, siap membawa sekitar tujuh puluh lima jiwa yang telah menapaki banyak musim dalam hidupnya. Tepat pukul lima pagi, iring-iringan mulai bergerak. Lagu-lagu rohani dilantunkan, canda tawa menggema, dan suasana akrab tumbuh seiring roda yang menggelinding menjauh dari Jakarta. Perjalanan ini seperti perayaan atas hidup yang masih Tuhan berikan.
Sekitar tengah hari, rombongan tiba di Dusun Semilir, sebuah eco park di Bawen yang memadukan pesona alam, kearifan lokal, dan kreasi modern. Tempat ini menyuguhkan lanskap yang asri dengan pepohonan rindang, jalan-jalan setapak berpaving, dan aneka arsitektur unik berbahan bambu yang menyatu dengan alam. Suasana terik namun sejuk membuat para adiyuswa betah berkeliling. Di sepanjang jalur, berjajar kios-kios jajanan tradisional seperti getuk goreng, tempe mendoan, sempol ayam, sate jamur, dawet ireng, hingga klepon warna-warni. Gawai di tangan mulai sibuk jeprat jepret untuk berfoto bersama di berbagai sudut menarik yang dihiasi taman bunga, jembatan kecil, dan ornamen etnik yang menambah keindahan tempat ini. Tawa dan canda mengiringi langkah-langkah mereka, memperlihatkan bahwa jiwa yang bersukacita tak pernah mengenal usia.
Perjalanan dilanjutkan menuju Salatiga. Rombongan singgah di Toko Oleh-oleh Oom Tan. Semangat belanja langsung terasa, terutama dari para eyang putri yang dengan cekatan memilih aneka jajanan khas Jawa Tengah: enting-enting kacang, keripik paru, wingko babat, dan lain-lain. Wajah mereka berbinar saat membungkus satu per satu oleh-oleh, seolah menyiapkan kebahagiaan kecil untuk orang-orang terkasih di rumah. Di dekat toko, berdiri pula sebuah klenteng tua yang memancarkan suasana teduh. Beberapa peserta menatapnya sejenak, teringat akan masa lalu yang pernah bersinggungan dengan ruang-ruang semacam itu. Hari semakin sore, tapi gairah berwisata masih mengalir hangat.
Menjelang senja, bus melaju perlahan menuju Hotel D’emmerick di Salatiga. Hotel yang dikelola oleh Sinode GKJ ini terletak di tengah hamparan hijau dan udara pegunungan yang menyejukkan. Para adiyuswa tampak tak sabar untuk beristirahat sejenak setelah hari yang penuh warna. Udara sejuk menyambut dengan damai, dan suasana hotel yang tenang langsung mengundang rasa nyaman. Ruang-ruang penginapan yang bersih dan rapi menjadi tempat untuk melepas lelah, namun semangat masih terus menyala untuk sesi malam hari yang telah disiapkan panitia.
Malam hari ditutup dengan acara yang tak kalah meriah: malam gembira. Di ruang pertemuan, berbagai lomba kebersamaan dan permainan ringan digelar. Ada kuis keharmonisan untuk pasangan suami istri, ada pula canda tawa dari peserta yang saling melempar gaya untuk ditebak apa maksud gaya tersebut. Tawa yang tulus, sorakan semangat, dan iringan lagu-lagu rohani ceria mengisi malam dengan sukacita. Pada momen ini pula, Bapak Agus Sutiyono berkesempatan membagikan cerita tentang keberadaan hotel, yang bukan semata tempat singgah, melainkan bagian dari pelayanan gereja. Hotel D’emmerick turut menopang pendidikan calon pendeta dan program-program Sinode GKJ. Penjelasan tersebut menambah makna tersendiri bagi para adiyuswa, bahwa keberadaan mereka di tempat ini pun turut menjadi bagian dari karya Tuhan. Peserta yang datang seorang diri pun tetap terlibat dan dihargai, karena kebersamaanlah yang menjadi napas dari acara malam itu. Tak ada rasa canggung, tak ada sekat, hanya hati yang terbuka dan tangan yang terulur dalam kasih. Acara malam kemudian ditutup dengan doa oleh Pnt. Rustiati Roeslan, sebelum peserta kembali ke kamar masing-masing untuk beristirahat.
Mengenang, Menikmati, dan Menyerap Hikmat
Hari baru menyambut dengan kelembutan yang hanya bisa diberikan oleh alam pegunungan. Udara pagi yang sejuk menyapa lembut pipi para adiyuswa yang telah bangun lebih awal dari matahari. Dari halaman Hotel D’emmerick, langit jingga perlahan beranjak menjadi biru, memperlihatkan siluet gunung yang berdiri anggun: Merbabu dan teman-temannya seakan ikut menyapa para eyang. Beberapa peserta tampak berdiri di teras kamar, menghela napas panjang, mengucap syukur dalam hati atas hidup yang masih terus diberi hari. Hari kedua dimulai dengan senyuman dan kesiapan untuk kembali melanjutkan perjalanan rohani yang menyegarkan jiwa.
Destinasi pertama adalah Museum Kereta Api Ambarawa. Sejarah panjang perkeretaapian Indonesia tersimpan rapi dalam bangunan tua yang kokoh dan megah. Para adiyuswa melangkah perlahan menyusuri lorong-lorong berisi lokomotif dan dokumentasi zaman kolonial. Ada yang menunjuk dengan mata berbinar, mengingat masa muda saat masih naik kereta api uap ke kota-kota kecil di Jawa. Puncak kunjungan adalah ketika mereka naik kereta wisata heritage dari Ambarawa menuju Tuntang. Deru mesin tua dan gemuruh rel menjadi musik nostalgia yang membangkitkan kenangan. Di sepanjang perjalanan, pemandangan danau, sawah, dan perbukitan mengalir perlahan seperti film masa lalu yang diputar ulang di hati masingmasing.
Perjalanan dilanjutkan ke Ketep Pass, sebuah gardu pandang di ketinggian yang menawarkan panorama megah empat gunung sekaligus: Merapi, Merbabu, Sundoro, dan Sumbing. Meskipun untuk mencapai spot terbaik harus menaiki banyak anak tangga, para adiyuswa tetap semangat, saling menggandeng dan menyemangati. Setibanya di atas, rasa lelah sirna seketika. Udara dingin, angin lembut, dan 3 pemandangan luar biasa membuat hati mereka penuh pujian. Kamera ponsel tak henti merekam—ada yang berfoto sendiri, berpasangan, atau bersama kelompok kecil. Tawa dan candaan menyatu dengan gemuruh angin. Dalam diam, beberapa mungkin merenung: betapa besar dan agung karya ciptaan Tuhan.
Setelah hari yang panjang, bus kembali membawa rombongan ke hotel menjelang malam. Namun, semangat belum padam. Sebuah seminar istimewa telah menanti. Disampaikan oleh dua narasumber yang berbeda latar namun sejiwa: Pdt. Adi Setyo Kristianto dari GKJ Randuares dan dr. Dian Armanto. Dalam gaya yang bersahabat dan penuh semangat, Pdt. Adi mengajak peserta melihat masa adiyuswa sebagai usia emas, bukan akhir dari pelayanan, melainkan musim berbagi hikmat. “Jangan merasa tua, merasa usang. Jadilah terang bagi generasi yang muda,” begitu kira-kira pesannya. Suara tawa sesekali terdengar kala beliau menyapa peserta sebagai “WIR” – Warga Indonesia Raya, sebutan penuh semangat yang langsung melekat di hati.
Tak kalah menarik, dr. Dian membagikan wawasan seputar geriatri, bagaimana tubuh lansia berubah dan bagaimana merawatnya dengan aktif bergerak serta berpikir positif. Beliau memanggil peserta dengan “WAK”, Warga Adiyuswa Kanaan – sebuah istilah hangat yang langsung menjadi identitas baru malam itu. Di akhir pemaparannya, sang suami: Bapak Boedi Armanto, mengajarkan gerakan senam sederhana yang bermanfaat, sehingga suasana seminar menjadi sangat hidup. Gelak tawa, celoteh ringan, dan interaksi yang cair membuat waktu berjalan tanpa terasa. Tak sedikit yang terkejut ketika menyadari jam telah menunjukkan malam larut.
Meski acara hari itu mundur dari jadwal, para adiyuswa justru mengaku pulang ke kamar dengan hati yang hangat dan tubuh yang ringan. Seminar malam itu menjadi semacam perayaan hidup, bahwa usia lanjut bukan alasan untuk berhenti berharap, tertawa, dan bersyukur. Akhirnya hari kedua ditutup penuh makna. Sebuah hari di mana langkah-langkah kecil diisi dengan kejutan, pelajaran, dan pengingat bahwa hidup ini indah selama dijalani bersama, dalam iman dan kasih.
Mengalirkan Kasih, Menyimpan Kenangan
Minggu pagi menyapa dengan lembut, seakan tahu bahwa hari ini adalah puncak dari perjalanan rohani yang penuh hikmat. Udara pegunungan masih sejuk, mentari perlahan naik di balik pepohonan, dan langit tampak bersih seperti hati yang siap disegarkan oleh firman Tuhan. Para adiyuswa berkumpul dengan wajah penuh syukur untuk mengikuti ibadah Minggu yang dilayani oleh Pdt. Arya Triyudanto. Firman Tuhan didasari dari Lukas 10:38–42, kisah Maria dan Marta, dua sosok yang mencerminkan dua sisi spiritualitas: mendengarkan dan melayani. Ada yang duduk merenung, ada yang berdiri aktif, namun keduanya dihargai oleh Tuhan ketika dijalani dengan hati yang benar. Pesan ibadah pagi itu sederhana tapi mendalam: setiap peran hidup sebagai adiyuswa, baik duduk seperti Maria atau sibuk seperti Marta, harus dilandasi sukacita dan rasa syukur dalam berjalan bersama Tuhan.
Setelah ibadah, suasana berubah menjadi lebih sibuk. Koper dan tas mulai ditata, belanjaan dari Bawen dan Semarang dibungkus rapi, dan para peserta saling membantu membereskan barang pribadi. Di tengah kesibukan itu, senyum dan canda tak pernah hilang. Namun sebelum benar-benar meninggalkan Salatiga, rombongan menuju tempat yang sangat istimewa: Panti Wreda Salib Putih. Sekitar belasan lansia penghuni panti telah menanti di aula. Sambutan yang hangat dan ramah langsung terasa. Pelukan-pelukan ringan, saling sapa yang penuh kehangatan, dan tawa yang ringan terdengar di mana-mana. Tidak ada sekat di antara mereka. Hanya ada rasa satu dalam kasih Tuhan.
Ibadah singkat yang diawali doa oleh Dkn. Suryo Irianto menjadi pembuka perayaan kecil penuh rasa kekeluargaan. Beberapa penghuni panti bersaksi dengan suara bergetar penuh kekuatan. Ada yang berbagi cerita tentang orang tuanya yang baru mengenal Kristus di akhir hayat, bahkan sempat dibaptis sebelum berpulang. Ada juga yang menyanyikan pujian dengan suara lantang penuh iman: “Sakjeke Aku Nderek Gusti” dan “Hidup adalah Kesempatan.” Setiap kata yang dinyanyikan seperti mengalirkan harapan, bukan hanya bagi diri mereka, tapi juga bagi seluruh rombongan. Perjumpaan ini seperti pelukan Tuhan yang nyata, mengingatkan bahwa kasih-Nya tidak pernah berhenti, bahkan hingga rambut memutih. “Sampai masa tuamu Aku tetap Dia, dan sampai masa putih rambutmu Aku menggendong kamu,” begitu janji Tuhan dalam Yesaya 46:4 yang terasa hidup dalam momen ini. Sebagai wujud cinta yang penuh haru, persembahan kasih dari GKJ Kanaan pun diberikan secara simbolis oleh Dkn. Purwadi dan diterima oleh Bapak Padmono Adhi selaku pengurus panti.
Setelah melepas perjumpaan yang menyentuh hati, perjalanan berlanjut ke pusat kota Semarang, tepatnya di Lawang Sewu, sebuah bangunan bersejarah yang menjadi ikon kota itu. Arsitektur bergaya kolonial dengan jendela-jendela tinggi dan tangga melingkar menyambut para adiyuswa dengan elegansi. Mereka berkeliling dengan antusias, menyusuri lorong-lorong panjang sambil mendengarkan cerita sejarah dari masa ke masa. Beberapa peserta berfoto di sudut-sudut yang ikonik, sementara yang lain duduk sejenak menikmati angin sore yang berhembus tenang. Yang membuat momen ini semakin indah adalah kekompakan seluruh peserta yang mengenakan kaus kuning seragam. Mereka tampak cerah di tengah bangunan tua yang megah, seakan menjadi simbol terang kasih di tengah sejarah yang penuh warna.
Waktu pun berlalu tanpa terasa. Menjelang sore, bus mulai bergerak meninggalkan Semarang. Dalam perjalanan pulang ke Jakarta, sebagian peserta tertidur dengan kepala bersandar di jendela, sementara lainnya saling bertukar cerita kecil: tentang cucu yang dirindukan, tentang rumah yang akan kembali diisi, dan tentang berkat yang mengalir selama tiga hari dua malam. Di akhir perjalanan, ada satu hal yang tak bisa dilupakan: rasa terima kasih yang tulus kepada seluruh panitia yang telah melayani dengan sepenuh hati, khususnya kepada Ketua Panitia, Ibu Nanik Sahat, yang dengan tenang dan telaten mendampingi setiap langkah kegiatan. Di jadwal yang 5 padat, cuaca yang berubah, dan tenaga yang terbatas, panitia tetap melayani dengan senyum dan semangat. Wisata rohani ini menjadi bukti bahwa di usia senja, hidup masih penuh warna dan makna. Ada harapan, ada perjumpaan, ada penyertaan Tuhan yang begitu nyata.
Dan mungkin, saat nanti para adiyuswa kembali duduk di rumah masing-masing, akan ada senyum kecil yang muncul ketika mengingat hari-hari indah ini. Hari-hari ketika mereka melangkah bersama, bersyukur bersama, dan menghidupi kasih yang tak pernah pudar. Suasana sukacita itu pun tak lepas dari yel-yel yang terus mewarnai perjalanan: “Adiyuswa: Semangat! Bahagia! Berguna! Oh yes, yes, yes!” Sebuah seruan yang menggambarkan semangat besar dari hati yang terus bersyukur dan berdaya guna menjadi berkat.