Sejarah
BENIH YANG DITABUR (1975 - 2001)
Awal Persekutuan, Awal Pertumbuhan
Perjalanan panjang GKJ Kanaan dimulai dari kerinduan sederhana untuk bersekutu. Sejak tahun 1975, wilayah Kebayoran Lama menjadi bagian dari GKJ Nehemia. Ibadah wilayah awal dilaksanakan sebulan sekali di Gedung Sembada, komplek Perumahan Sekretariat Negara (Sekneg), Cidodol, Jakarta Selatan. Meski bersifat wilayah, semangat untuk berjemaat tumbuh dari persekutuan yang kecil ini. Pada tahun 1976, ibadah berpindah ke rumah Bapak Karyo Dimedjo di Jalan Kweni, Kebayoran Lama, dan dilaksanakan dua kali sebulan. Pertumbuhan jemaat mulai terlihat. Kemudian, mulai tahun 1986, ibadah wilayah dilakukan rutin setiap minggu keempat di rumah Bapak Suwasto, Gang Shinta, Larangan Selatan, Ciledug. Tahun demi tahun, pertumbuhan kuantitas warga jemaat dan volume kegiatan pelayanan semakin menunjukan grafik yang menanjak. Mengenai kegiatan pelayanan yang semakin meningkat dapat disaksikan melalui seringnya di tempat ini diadakan berbagai macam kegiatan di hari-hari non-Minggu, di antaranya rapat-rapat, Pemahaman Alkitab, Persekutuan doa ibu-ibu, dan paduan suara.
Awalnya pertumbuhan itu dapat disikapi dengan diadakan pelayanan Sekolah Minggu di Tanah Seratus, rumah kediaman Keluarga Toni Sudarto, sehingga di Rumah Bapak Suwasto tidak terlalu penuh. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri antusias warga jemaat yang beribadah juga semakin meningkat. Sehingga pada hari-hari besar tertentu seperti Natal atau Paskah, ibadah harus meminjam tempat di gedung Peruri-Mencong, GKJ Joglo, atau di gereja induk, GKJ Nehemia.
Menyikapi keadaan tersebut, maka Majelis serta Pembantu Majelis Wilayah (PMW) semakin tertantang untuk memikiran tempat ibadah yang lebih luas dan dapat menampung warga jemaat. Pencarian tempat ibadah untuk dapat didirikan gereja secara mandiri pun (permanen) mulai digiatkan.
Awalnya pertumbuhan itu dapat disikapi dengan diadakan pelayanan Sekolah Minggu di Tanah Seratus, rumah kediaman Keluarga Toni Sudarto, sehingga di Rumah Bapak Suwasto tidak terlalu penuh. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri antusias warga jemaat yang beribadah juga semakin meningkat. Sehingga pada hari-hari besar tertentu seperti Natal atau Paskah, ibadah harus meminjam tempat di gedung Peruri-Mencong, GKJ Joglo, atau di gereja induk, GKJ Nehemia.
Menyikapi keadaan tersebut, maka Majelis serta Pembantu Majelis Wilayah (PMW) semakin tertantang untuk memikiran tempat ibadah yang lebih luas dan dapat menampung warga jemaat. Pencarian tempat ibadah untuk dapat didirikan gereja secara mandiri pun (permanen) mulai digiatkan.

Pertumbuhan jemaat yang pesat membawa sukacita, namun juga tak luput dari tantangan. Pada awal tahun 1990-an, salah seorang Majelis yang memiliki tanah kosong seluas 200 m² dengan sukarela mengizinkan lahannya digunakan untuk membangun sebuah bedeng sederhana. Bangunan ini difungsikan sebagai aula pertemuan atau ruang ibadah sementara, karena rumah alm. Bapak Suwasto sudah tidak lagi mampu menampung seluruh warga jemaat yang terus bertambah.
Bedeng itu dibangun dengan swadaya dan harapan besar, menjadi ruang ibadah yang lebih layak. Puncaknya, tempat ini digunakan dalam rangka perayaan Paskah — momen iman yang penting bagi seluruh jemaat.
Namun, malam setelah ibadah Paskah berlangsung, terjadi tragedi yang tak terlupakan: bedeng tersebut dibakar oleh massa. Peristiwa itu mengejutkan seluruh jemaat dan meninggalkan trauma yang mendalam. Beberapa pengurus bahkan harus dimintai keterangan oleh aparat dan menginap di Koramil.
Di balik peristiwa kelam itu, Tuhan menyatakan hikmah-Nya. Jemaat belajar bahwa membangun bukan hanya soal fisik, tetapi juga tentang menjalin hubungan sosial dan keberterimaan di tengah masyarakat. Bapak Mardjiyo yang saat itu menjabat sebagai Majelis KL 2 GKJ Nehemia menuturkan, “Pendekatan kepada masyarakat belum ada sama sekali. Saya memang dekat dengan Ketua RT/RW di daerah itu, tetapi ternyata tidak menjamin untuk melakukan kegiatan. Kami pun tidak memprediksi hal ini sebelumnya.” Peristiwa ini menjadi refleksi kolektif yang menegaskan pentingnya membangun gereja dengan dasar kasih dan kebijaksanaan sosial.
Namun justru dari luka itulah tekad untuk bertumbuh semakin kuat. Jemaat tak menyerah — mereka melangkah ke depan dengan lebih hati-hati, lebih bersatu, dan lebih percaya bahwa Tuhan sedang memimpin mereka melewati proses yang mendewasakan.
Bedeng itu dibangun dengan swadaya dan harapan besar, menjadi ruang ibadah yang lebih layak. Puncaknya, tempat ini digunakan dalam rangka perayaan Paskah — momen iman yang penting bagi seluruh jemaat.
Namun, malam setelah ibadah Paskah berlangsung, terjadi tragedi yang tak terlupakan: bedeng tersebut dibakar oleh massa. Peristiwa itu mengejutkan seluruh jemaat dan meninggalkan trauma yang mendalam. Beberapa pengurus bahkan harus dimintai keterangan oleh aparat dan menginap di Koramil.
Di balik peristiwa kelam itu, Tuhan menyatakan hikmah-Nya. Jemaat belajar bahwa membangun bukan hanya soal fisik, tetapi juga tentang menjalin hubungan sosial dan keberterimaan di tengah masyarakat. Bapak Mardjiyo yang saat itu menjabat sebagai Majelis KL 2 GKJ Nehemia menuturkan, “Pendekatan kepada masyarakat belum ada sama sekali. Saya memang dekat dengan Ketua RT/RW di daerah itu, tetapi ternyata tidak menjamin untuk melakukan kegiatan. Kami pun tidak memprediksi hal ini sebelumnya.” Peristiwa ini menjadi refleksi kolektif yang menegaskan pentingnya membangun gereja dengan dasar kasih dan kebijaksanaan sosial.
Namun justru dari luka itulah tekad untuk bertumbuh semakin kuat. Jemaat tak menyerah — mereka melangkah ke depan dengan lebih hati-hati, lebih bersatu, dan lebih percaya bahwa Tuhan sedang memimpin mereka melewati proses yang mendewasakan.
Menapaki jalan menuju kemandirian (2001 - 2005)
Meneguhkan Akar, Menyusun Tiang
Lambat laun, jumlah warga jemaat di Wilayah Kebayoran Lama 2 (KL 2) semakin berkembang dan bertumbuh. Rumah-rumah jemaat yang sebelumnya cukup untuk mengakomodasi ibadah dan persekutuan mulai terasa sesak. Dalam semangat untuk bertumbuh lebih jauh, muncul kerinduan yang lebih besar: menjadi komunitas yang lebih mandiri.
Pada titik inilah Majelis Wilayah Kebayoran Lama mengambil sebuah keputusan penting. Mereka menyadari bahwa wilayah pelayanan ternyata tidak terbatas hanya pada KL 2, melainkan juga mencakup KL 1 hingga KL 5, yang meliputi daerah Pesanggrahan, Petukangan Utara, Cidodol, dan Permata Hijau. Wilayah ini tersebar cukup luas dan dihuni oleh warga jemaat yang jumlahnya signifikan.
Konsekuensi dari keputusan tersebut tentu tidak ringan. Untuk mengakomodasi persekutuan seluruh wilayah secara bersama-sama, dibutuhkan tempat ibadah yang lebih luas dan kondusif. Tempat yang tidak hanya mampu menampung jemaat dari berbagai penjuru, tapi juga memberi ruang bagi pertumbuhan spiritual dan pelayanan yang lebih terstruktur. Keputusan ini menjadi tonggak awal bagi perjalanan menuju gereja yang dewasa dan mandiri. Semangat untuk bersatu, melayani, dan berdiri sendiri mulai dihidupi dalam setiap keputusan dan langkah pelayanan.
Sebagai wujud nyata dari semangat bersatu dan bertumbuh, ibadah gabungan wilayah Kebayoran Lama (KL 1–5) untuk pertama kalinya dilangsungkan pada Minggu, 26 Agustus 2001 pukul 15.30 WIB, bertempat di aula Universitas Budi Luhur, Petukangan Utara. Ibadah perdana ini dipimpin oleh Pdt. Lusindo Y.L. Tobing, yang saat itu menjabat sebagai Pendeta GKJ Nehemia dan sekaligus penanggung jawab wilayah Kebayoran Lama hingga pendewasaan GKJ Kanaan pada tahun 2008.
Ibadah ini menjadi momen penting dan simbol pengikat antara berbagai wilayah jemaat yang sebelumnya tersebar dalam kelompok-kelompok kecil. Namun sayangnya, penggunaan aula tersebut tidak dapat berlanjut dalam jangka panjang. Salah satu kendala utama adalah kebutuhan untuk mendapatkan izin dari aparat Bin-Mas-Pol setiap kali hendak menyelenggarakan ibadah sore hari. Kegiatan ibadah dinilai berpotensi menimbulkan keresahan warga sekitar, sehingga tidak mendapat dukungan penuh dari pihak keamanan lingkungan.
Menyadari pentingnya kontinuitas ibadah dan keteraturan persekutuan, Majelis bergerak cepat mencari alternatif tempat ibadah. Saat itu, dua opsi utama muncul: HKBP Petukangan dan GPIB Gibeon di Pesanggrahan. Setelah melalui pertimbangan yang matang, baik dari segi lokasi, aksesibilitas, maupun waktu pelaksanaan ibadah, Majelis akhirnya memutuskan untuk berpindah ke GPIB Gibeon terhitung sejak tanggal 11 November 2001.
Pada titik inilah Majelis Wilayah Kebayoran Lama mengambil sebuah keputusan penting. Mereka menyadari bahwa wilayah pelayanan ternyata tidak terbatas hanya pada KL 2, melainkan juga mencakup KL 1 hingga KL 5, yang meliputi daerah Pesanggrahan, Petukangan Utara, Cidodol, dan Permata Hijau. Wilayah ini tersebar cukup luas dan dihuni oleh warga jemaat yang jumlahnya signifikan.
Konsekuensi dari keputusan tersebut tentu tidak ringan. Untuk mengakomodasi persekutuan seluruh wilayah secara bersama-sama, dibutuhkan tempat ibadah yang lebih luas dan kondusif. Tempat yang tidak hanya mampu menampung jemaat dari berbagai penjuru, tapi juga memberi ruang bagi pertumbuhan spiritual dan pelayanan yang lebih terstruktur. Keputusan ini menjadi tonggak awal bagi perjalanan menuju gereja yang dewasa dan mandiri. Semangat untuk bersatu, melayani, dan berdiri sendiri mulai dihidupi dalam setiap keputusan dan langkah pelayanan.
Sebagai wujud nyata dari semangat bersatu dan bertumbuh, ibadah gabungan wilayah Kebayoran Lama (KL 1–5) untuk pertama kalinya dilangsungkan pada Minggu, 26 Agustus 2001 pukul 15.30 WIB, bertempat di aula Universitas Budi Luhur, Petukangan Utara. Ibadah perdana ini dipimpin oleh Pdt. Lusindo Y.L. Tobing, yang saat itu menjabat sebagai Pendeta GKJ Nehemia dan sekaligus penanggung jawab wilayah Kebayoran Lama hingga pendewasaan GKJ Kanaan pada tahun 2008.
Ibadah ini menjadi momen penting dan simbol pengikat antara berbagai wilayah jemaat yang sebelumnya tersebar dalam kelompok-kelompok kecil. Namun sayangnya, penggunaan aula tersebut tidak dapat berlanjut dalam jangka panjang. Salah satu kendala utama adalah kebutuhan untuk mendapatkan izin dari aparat Bin-Mas-Pol setiap kali hendak menyelenggarakan ibadah sore hari. Kegiatan ibadah dinilai berpotensi menimbulkan keresahan warga sekitar, sehingga tidak mendapat dukungan penuh dari pihak keamanan lingkungan.
Menyadari pentingnya kontinuitas ibadah dan keteraturan persekutuan, Majelis bergerak cepat mencari alternatif tempat ibadah. Saat itu, dua opsi utama muncul: HKBP Petukangan dan GPIB Gibeon di Pesanggrahan. Setelah melalui pertimbangan yang matang, baik dari segi lokasi, aksesibilitas, maupun waktu pelaksanaan ibadah, Majelis akhirnya memutuskan untuk berpindah ke GPIB Gibeon terhitung sejak tanggal 11 November 2001.

Memasuki tahun 2002, semangat menuju kemandirian semakin kuat. Maka pada 15 Mei 2002, Majelis GKJ Nehemia mengeluarkan Surat Keputusan No. 12/GKJ-N/V/2002 yang menetapkan pembentukan Panitia Tetap Pembentukan Pepanthan Kebayoran Lama (PTPPKL). Panitia ini diberi mandat untuk menyusun perencanaan jangka pendek, menengah, dan panjang, serta mempersiapkan aspek struktural dan spiritual sebagai pra-kelola gereja—langkah awal menuju jemaat yang mandiri dan dewasa.
Salah satu prioritas PTPPKL adalah mencari tempat ibadah yang lebih kondusif, khususnya agar ibadah dapat dilangsungkan pada pagi hari, bukan sore seperti sebelumnya. Upaya ini dilakukan dengan penuh hikmat oleh ketua panitia, Bapak Y. Marimin, bersama sekretarisnya, Bapak Totok Novianto.
Puji syukur, Tuhan membukakan jalan melalui pengelola Keuskupan Pastoran TNI-ABRI di Bintaro. Tempat ini sebelumnya digunakan untuk ibadah jemaat Katolik, namun sejak mereka memiliki gereja permanen di Santo Mateus, Pondok Betung, bangunan tersebut praktis tidak lagi dipakai secara rutin.
Melalui komunikasi yang baik dan penuh rasa hormat, pihak Pastoran menyambut positif permohonan pemakaian tempat. Maka sejak itu, ibadah wilayah KL dapat dilangsungkan setiap Minggu pagi pukul 06.00–08.00 WIB di Pastoran Kodam Bintaro. Langkah ini bukan hanya solusi praktis, tapi juga menjadi titik awal pembentukan ritme ibadah yang stabil dan berkesinambungan, yang kelak menjadi fondasi utama dalam proses pendewasaan GKJ Kanaan.
Salah satu tonggak paling spiritual terjadi saat panitia mengetahui adanya lelang tanah oleh BPPN di Kavling Deplu, Jalan Asri, Kreo dari surat kabar tanggal 1 Oktober 2003. Tanah seluas 1.675 m² itu ditawarkan dengan harga jauh di bawah pasaran. Dalam iman, Bapak Paulus Suparman selaku bendahara 1 PTPPKL menawar dengan angka Rp 333.000.000, merujuk pada Yeremia 33:3:
Salah satu prioritas PTPPKL adalah mencari tempat ibadah yang lebih kondusif, khususnya agar ibadah dapat dilangsungkan pada pagi hari, bukan sore seperti sebelumnya. Upaya ini dilakukan dengan penuh hikmat oleh ketua panitia, Bapak Y. Marimin, bersama sekretarisnya, Bapak Totok Novianto.
Puji syukur, Tuhan membukakan jalan melalui pengelola Keuskupan Pastoran TNI-ABRI di Bintaro. Tempat ini sebelumnya digunakan untuk ibadah jemaat Katolik, namun sejak mereka memiliki gereja permanen di Santo Mateus, Pondok Betung, bangunan tersebut praktis tidak lagi dipakai secara rutin.
Melalui komunikasi yang baik dan penuh rasa hormat, pihak Pastoran menyambut positif permohonan pemakaian tempat. Maka sejak itu, ibadah wilayah KL dapat dilangsungkan setiap Minggu pagi pukul 06.00–08.00 WIB di Pastoran Kodam Bintaro. Langkah ini bukan hanya solusi praktis, tapi juga menjadi titik awal pembentukan ritme ibadah yang stabil dan berkesinambungan, yang kelak menjadi fondasi utama dalam proses pendewasaan GKJ Kanaan.
Salah satu tonggak paling spiritual terjadi saat panitia mengetahui adanya lelang tanah oleh BPPN di Kavling Deplu, Jalan Asri, Kreo dari surat kabar tanggal 1 Oktober 2003. Tanah seluas 1.675 m² itu ditawarkan dengan harga jauh di bawah pasaran. Dalam iman, Bapak Paulus Suparman selaku bendahara 1 PTPPKL menawar dengan angka Rp 333.000.000, merujuk pada Yeremia 33:3:
“Berserulah kepada-Ku, maka Aku akan menjawab engkau dan akan memberitahukan kepadamu hal-hal yang besar dan yang tidak terpahami, yakni hal-hal yang tidak kau ketahui.” — Yeremia 33: 3
Ayat ini dimaknai betul oleh Majelis dan PTPPKL sebagai janji penyertaan Tuhan, khususnya dalam pencarian lahan gereja yang permanen. Dan benar, karya Allah begitu nyata dirasakan. Tanggal 17 November 2003, BPPN mengeluarkan Surat Penetapan Pemenang dalam diri Bapak Paulus Suparman.
Namun, setelah kabar gembira kemenangan lelang diterima, sebuah pergumulan besar segera menyusul. Total biaya yang dibutuhkan untuk memperoleh dan mengalihkan aset tersebut bukanlah jumlah yang kecil — yakni sebesar Rp 395.000.000, termasuk biaya pengalihan aset. Sementara itu, dana yang tersedia pada saat itu hanya Rp 125.000.000. Artinya, jemaat harus menghadapi kekurangan dana sebesar Rp 270.000.000 — dan itu harus dilunasi sebelum batas waktu 5 Desember 2003.
Bagi manusia, ini mungkin tampak seperti misi mustahil. Tapi bagi Tuhan, tidak ada yang mustahil.
Sekali lagi, karya Allah begitu nyata. Tuhan menggerakkan hati banyak pihak dan membuka jalan yang sebelumnya tak terlihat. Kekurangan dana tersebut tertutupi melalui berbagai upaya yang dipenuhi iman.
Namun, setelah kabar gembira kemenangan lelang diterima, sebuah pergumulan besar segera menyusul. Total biaya yang dibutuhkan untuk memperoleh dan mengalihkan aset tersebut bukanlah jumlah yang kecil — yakni sebesar Rp 395.000.000, termasuk biaya pengalihan aset. Sementara itu, dana yang tersedia pada saat itu hanya Rp 125.000.000. Artinya, jemaat harus menghadapi kekurangan dana sebesar Rp 270.000.000 — dan itu harus dilunasi sebelum batas waktu 5 Desember 2003.
Bagi manusia, ini mungkin tampak seperti misi mustahil. Tapi bagi Tuhan, tidak ada yang mustahil.
Sekali lagi, karya Allah begitu nyata. Tuhan menggerakkan hati banyak pihak dan membuka jalan yang sebelumnya tak terlihat. Kekurangan dana tersebut tertutupi melalui berbagai upaya yang dipenuhi iman.
JANJI YANG DIGENAPI (2005 - 2008)
Memelihara Warisan, Membangun Masa Depan
Setelah melalui berbagai proses panjang, mulai dari pembentukan panitia, penyusunan rencana strategis, pengadaan tempat ibadah, hingga perjuangan iman dalam pembelian lahan gereja, komunitas Kebayoran Lama memasuki babak baru dalam sejarahnya. Seluruh unsur pelayanan, Majelis Wilayah, Panitia Tetap Pembentukan Pepanthan Kebayoran Lama (PTPPKL), serta badan-badan gerejawi yang terbentuk melakukan tugas-tugasnya dalam mengupayakan gereja yang dewasa dan mandiri, maka pada tanggal 1 Januari 2005 berdasarkan SK Majelis GKJ Nehemia No.01/GKJ-N/I/2005 ditetapkanlah komunitas KL ini sebagai Pepanthan Kebayoran Lama.
Sejak resmi menjadi Pepanthan Kebayoran Lama pada 1 Januari 2005, pelayanan jemaat semakin terorganisir. Komisi-komisi gerejawi mulai dilengkapi sesuai kebutuhan, termasuk Komisi Anak, Pemuda, Diakonia, maupun Komisi Pembangunan Jangka Panjang dan Pencarian Dana (JPPD). Penataan ibadah pun semakin rapi, termasuk pelayanan sakramen seperti baptis, sidi, perjamuan kudus, dan pemberkatan nikah.
Dengan bertambahnya jumlah warga jemaat yang beribadah di Pepanthan Kebayoran Lama, Majelis memohon kepada Sekolah Kartika yang bersebelahan dengan Pastoran Kodam, untuk bisa memfasilitasi tempat parkir mobil di halaman sekolah. Hal ini dilakukan karena perlu tambahan tempat duduk untuk menampung jemaat. Terlebih saat hari raya Kristiani, Natal, Paskah atau Perjamuan Kudus perlu tambahan tenda dan kursi-kursi.
Pada akhir tahun 2007, berdasarkan sensus yang dilakukan oleh Majelis GKJ Nehemia, jumlah warga jemaat di Pepanthan ini mencapai 947 jiwa dari 276 KK, meskipun sebagian di antaranya masih beribadah di GKJ Nehemia. Melihat pertumbuhan yang signifikan, dan terutama kerinduan kuat dari jemaat untuk menjadi gereja dewasa dan mandiri, Majelis Pepanthan pun mengajukan permohonan kepada Klasis GKJ Jakarta Bagian Barat untuk dievaluasi dan dikonsultasikan.
Sebagai bentuk tanggapan, pada tanggal 4 Oktober 2007, Klasis GKJ Jakarta Bagian Barat mengutus tim untuk melakukan visitasi langsung ke Pepanthan Kebayoran Lama. Tim ini terdiri dari Pdt. Drs. Nugroho Adi Th.M., Pdt. Joko Sulistyo S.Th. M.Min, dan Pdt. Pramudiyanto S.Th., SE, yang bertugas untuk menjajaki, mempelajari, dan mengevaluasi secara menyeluruh kesiapan jemaat dari berbagai aspek: teologis, administratif, struktural, dan spiritual.
Hasil visitasi tersebut kemudian dibawa ke dalam Sidang Klasis XII GKJ Jakarta Bagian Barat, yang diselenggarakan pada awal tahun 2008 di GKJ Yeremia. Setelah melalui proses diskusi yang mendalam dan pertimbangan dari berbagai utusan gereja anggota klasis, akhirnya sidang menyatakan bahwa Pepanthan Kebayoran Lama layak untuk didewasakan.
Sejak resmi menjadi Pepanthan Kebayoran Lama pada 1 Januari 2005, pelayanan jemaat semakin terorganisir. Komisi-komisi gerejawi mulai dilengkapi sesuai kebutuhan, termasuk Komisi Anak, Pemuda, Diakonia, maupun Komisi Pembangunan Jangka Panjang dan Pencarian Dana (JPPD). Penataan ibadah pun semakin rapi, termasuk pelayanan sakramen seperti baptis, sidi, perjamuan kudus, dan pemberkatan nikah.
Dengan bertambahnya jumlah warga jemaat yang beribadah di Pepanthan Kebayoran Lama, Majelis memohon kepada Sekolah Kartika yang bersebelahan dengan Pastoran Kodam, untuk bisa memfasilitasi tempat parkir mobil di halaman sekolah. Hal ini dilakukan karena perlu tambahan tempat duduk untuk menampung jemaat. Terlebih saat hari raya Kristiani, Natal, Paskah atau Perjamuan Kudus perlu tambahan tenda dan kursi-kursi.
Pada akhir tahun 2007, berdasarkan sensus yang dilakukan oleh Majelis GKJ Nehemia, jumlah warga jemaat di Pepanthan ini mencapai 947 jiwa dari 276 KK, meskipun sebagian di antaranya masih beribadah di GKJ Nehemia. Melihat pertumbuhan yang signifikan, dan terutama kerinduan kuat dari jemaat untuk menjadi gereja dewasa dan mandiri, Majelis Pepanthan pun mengajukan permohonan kepada Klasis GKJ Jakarta Bagian Barat untuk dievaluasi dan dikonsultasikan.
Sebagai bentuk tanggapan, pada tanggal 4 Oktober 2007, Klasis GKJ Jakarta Bagian Barat mengutus tim untuk melakukan visitasi langsung ke Pepanthan Kebayoran Lama. Tim ini terdiri dari Pdt. Drs. Nugroho Adi Th.M., Pdt. Joko Sulistyo S.Th. M.Min, dan Pdt. Pramudiyanto S.Th., SE, yang bertugas untuk menjajaki, mempelajari, dan mengevaluasi secara menyeluruh kesiapan jemaat dari berbagai aspek: teologis, administratif, struktural, dan spiritual.
Hasil visitasi tersebut kemudian dibawa ke dalam Sidang Klasis XII GKJ Jakarta Bagian Barat, yang diselenggarakan pada awal tahun 2008 di GKJ Yeremia. Setelah melalui proses diskusi yang mendalam dan pertimbangan dari berbagai utusan gereja anggota klasis, akhirnya sidang menyatakan bahwa Pepanthan Kebayoran Lama layak untuk didewasakan.

Keputusan resmi tersebut diumumkan pada 8 Februari 2008, dan menjadi momen bersejarah dalam perjalanan iman komunitas ini. Setelah melalui proses panjang—mulai dari penataan wilayah, pembentukan badan-badan pelayanan, pengembangan struktur organisasi, hingga pembuktian kesiapan spiritual dan administratif—Pepanthan Kebayoran Lama akhirnya ditetapkan sebagai gereja dewasa, mandiri, dan otonom.
Salah satu langkah penting dalam pendewasaan ini adalah pemilihan nama gereja. Prosesnya dilakukan secara terbuka dan demokratis, mencerminkan semangat kebersamaan dan keterlibatan seluruh jemaat. Dari beberapa nama yang diusulkan — GKJ Abraham, GKJ Ezra, GKJ Yehezkiel — akhirnya mayoritas suara memilih nama “GKJ Kanaan”.
Nama ini dipilih bukan tanpa alasan. “Kanaan” adalah tanah perjanjian, simbol dari penggenapan janji Allah kepada umat-Nya setelah melewati masa pengembaraan, pergumulan, dan pembentukan karakter. Nama ini menggambarkan apa yang dialami oleh jemaat ini: perjalanan panjang, pengorbanan, iman yang diuji, dan akhirnya—tanah milik sendiri, identitas sendiri, dan panggilan yang jelas.
Pada 9 Agustus 2008, Pepanthan Kebayoran Lama resmi ditetapkan menjadi gereja mandiri dengan nama Gereja Kristen Jawa (GKJ) Kanaan. Tanggal ini kini diperingati setiap tahun sebagai hari kelahiran GKJ Kanaan—bukan hanya sebagai momen selebrasi, tetapi juga pengingat akan penyertaan Tuhan dan tanggung jawab untuk hidup dalam persekutuan, bersaksi, dan melayani.
GKJ Kanaan menjadi gereja anak keempat yang dilahirkan oleh GKJ Nehemia, setelah GKJ Yeremia, GKJ Tangerang, dan GKJ Pamulang. Dengan wilayah pelayanan yang mencakup Jakarta Selatan dan sebagian Tangerang, GKJ Kanaan terbagi dalam lima wilayah pelayanan: Pesanggrahan, Larangan Selatan, Ciledug, Larinda (Larangan Utara), Petara (Petukangan Utara).
Salah satu langkah penting dalam pendewasaan ini adalah pemilihan nama gereja. Prosesnya dilakukan secara terbuka dan demokratis, mencerminkan semangat kebersamaan dan keterlibatan seluruh jemaat. Dari beberapa nama yang diusulkan — GKJ Abraham, GKJ Ezra, GKJ Yehezkiel — akhirnya mayoritas suara memilih nama “GKJ Kanaan”.
Nama ini dipilih bukan tanpa alasan. “Kanaan” adalah tanah perjanjian, simbol dari penggenapan janji Allah kepada umat-Nya setelah melewati masa pengembaraan, pergumulan, dan pembentukan karakter. Nama ini menggambarkan apa yang dialami oleh jemaat ini: perjalanan panjang, pengorbanan, iman yang diuji, dan akhirnya—tanah milik sendiri, identitas sendiri, dan panggilan yang jelas.
Pada 9 Agustus 2008, Pepanthan Kebayoran Lama resmi ditetapkan menjadi gereja mandiri dengan nama Gereja Kristen Jawa (GKJ) Kanaan. Tanggal ini kini diperingati setiap tahun sebagai hari kelahiran GKJ Kanaan—bukan hanya sebagai momen selebrasi, tetapi juga pengingat akan penyertaan Tuhan dan tanggung jawab untuk hidup dalam persekutuan, bersaksi, dan melayani.
GKJ Kanaan menjadi gereja anak keempat yang dilahirkan oleh GKJ Nehemia, setelah GKJ Yeremia, GKJ Tangerang, dan GKJ Pamulang. Dengan wilayah pelayanan yang mencakup Jakarta Selatan dan sebagian Tangerang, GKJ Kanaan terbagi dalam lima wilayah pelayanan: Pesanggrahan, Larangan Selatan, Ciledug, Larinda (Larangan Utara), Petara (Petukangan Utara).
MELAYANI DALAM TERANG-NYA (2008 - SEKARANG)
Diteguhkan untuk bersaksi
Setelah resmi didewasakan, GKJ Kanaan memasuki babak baru sebagai gereja dewasa dan mandiri. Status ini membawa konsekuensi tanggung jawab yang besar—bukan hanya secara administratif dan struktural, tetapi terutama secara spiritual: menjadi gereja yang hidup, bersaksi, dan melayani di tengah dunia. Sebagai gereja yang mandiri dan dewasa, kehadiran seorang gembala tetap bukan hanya menjadi kebutuhan administratif, tetapi juga kerinduan rohani yang sangat mendalam. Seorang pendeta bukan sekadar pemimpin ibadah, tetapi rekan sepelayanan, pembina komisi-komisi, penggembala umat, dan teladan dalam membangun tubuh Kristus.
Dengan dorongan dan arahan dari Pendeta Konsulen, Pdt. Samuel Bambang Haryanto, S.Th., Majelis GKJ Kanaan mulai mengupayakan proses pemanggilan pendeta. Saat itu, Ketua Majelis dijabat oleh Pnt. Untarto, dan pembentukan Tim Pemanggilan Pendeta (TPP) pun segera dilakukan.
Tim ini bertugas menggali aspirasi jemaat mengenai kriteria pendeta yang diharapkan. Melalui survei dan jajak pendapat, mayoritas warga jemaat menghendaki sosok pendeta yang sudah berpengalaman dan berkeluarga. Namun kenyataannya, mencari figur seperti ini cukup sulit—karena pendeta-pendeta yang sudah ditahbiskan biasanya telah terikat secara resmi dengan gereja tempat mereka melayani.
Sebagai alternatif, Tim mencoba menjaring calon dari perguruan tinggi teologi seazas dengan GKJ, seperti: STT Jakarta, Fakultas Teologi UKDW Yogyakarta dan Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga. Sebanyak 13 nama calon pendeta direkomendasikan oleh lembaga-lembaga tersebut. Namun setelah dikirimi surat resmi, tak satu pun dari mereka dapat memenuhi panggilan, karena alasan seperti sudah melayani di gereja lain atau tengah menjalani proses pemanggilan di tempat lain.
Dalam situasi ini, muncullah sebuah kemungkinan yang tak diduga namun penuh makna. Salah satu warga jemaat Kebayoran Lama, yaitu Saudara Arya Triyudanto, S.Si. Teol., telah menyelesaikan pendidikan teologi di STT Jakarta dan saat itu sedang menjalani masa orientasi di GKJ Bandung. Sidang Majelis GKJ Kanaan akhirnya menetapkan Saudara Arya Triyudanto, S.Si. Teol. sebagai calon tunggal pendeta tetap untuk dilayani pemanggilannya. Calon ini dinilai layak bukan hanya karena latar belakang akademisnya dari STT Jakarta, tetapi juga karena pemahamannya yang mendalam akan kultur, kebutuhan, dan dinamika GKJ Kanaan sebagai putra jemaat sendiri.
Sebagai bentuk partisipasi seluruh jemaat, pemilihan pendeta dilakukan secara demokratis pada 17 Januari 2010. Hasilnya sangat meyakinkan: 94,5% suara jemaat menyatakan setuju. Angka ini mencerminkan besarnya kepercayaan dan harapan warga jemaat terhadap beliau. Setelah pemilihan, beliau menjalani masa pembimbingan dan pembekalan yang difasilitasi oleh Klasis GKJ Jakarta Bagian Barat. Ia juga mengikuti ujian peremptoir, yaitu proses peneguhan teologis dan pastoral yang wajib dilalui calon pendeta dalam tradisi GKJ. Setelah dinyatakan lulus oleh pihak klasis dan disetujui oleh sinode, maka tahapan penahbisan dapat dilaksanakan.
Dengan dorongan dan arahan dari Pendeta Konsulen, Pdt. Samuel Bambang Haryanto, S.Th., Majelis GKJ Kanaan mulai mengupayakan proses pemanggilan pendeta. Saat itu, Ketua Majelis dijabat oleh Pnt. Untarto, dan pembentukan Tim Pemanggilan Pendeta (TPP) pun segera dilakukan.
Tim ini bertugas menggali aspirasi jemaat mengenai kriteria pendeta yang diharapkan. Melalui survei dan jajak pendapat, mayoritas warga jemaat menghendaki sosok pendeta yang sudah berpengalaman dan berkeluarga. Namun kenyataannya, mencari figur seperti ini cukup sulit—karena pendeta-pendeta yang sudah ditahbiskan biasanya telah terikat secara resmi dengan gereja tempat mereka melayani.
Sebagai alternatif, Tim mencoba menjaring calon dari perguruan tinggi teologi seazas dengan GKJ, seperti: STT Jakarta, Fakultas Teologi UKDW Yogyakarta dan Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga. Sebanyak 13 nama calon pendeta direkomendasikan oleh lembaga-lembaga tersebut. Namun setelah dikirimi surat resmi, tak satu pun dari mereka dapat memenuhi panggilan, karena alasan seperti sudah melayani di gereja lain atau tengah menjalani proses pemanggilan di tempat lain.
Dalam situasi ini, muncullah sebuah kemungkinan yang tak diduga namun penuh makna. Salah satu warga jemaat Kebayoran Lama, yaitu Saudara Arya Triyudanto, S.Si. Teol., telah menyelesaikan pendidikan teologi di STT Jakarta dan saat itu sedang menjalani masa orientasi di GKJ Bandung. Sidang Majelis GKJ Kanaan akhirnya menetapkan Saudara Arya Triyudanto, S.Si. Teol. sebagai calon tunggal pendeta tetap untuk dilayani pemanggilannya. Calon ini dinilai layak bukan hanya karena latar belakang akademisnya dari STT Jakarta, tetapi juga karena pemahamannya yang mendalam akan kultur, kebutuhan, dan dinamika GKJ Kanaan sebagai putra jemaat sendiri.
Sebagai bentuk partisipasi seluruh jemaat, pemilihan pendeta dilakukan secara demokratis pada 17 Januari 2010. Hasilnya sangat meyakinkan: 94,5% suara jemaat menyatakan setuju. Angka ini mencerminkan besarnya kepercayaan dan harapan warga jemaat terhadap beliau. Setelah pemilihan, beliau menjalani masa pembimbingan dan pembekalan yang difasilitasi oleh Klasis GKJ Jakarta Bagian Barat. Ia juga mengikuti ujian peremptoir, yaitu proses peneguhan teologis dan pastoral yang wajib dilalui calon pendeta dalam tradisi GKJ. Setelah dinyatakan lulus oleh pihak klasis dan disetujui oleh sinode, maka tahapan penahbisan dapat dilaksanakan.

Pada hari Sabtu, 11 Februari 2012, dalam sebuah ibadah khusus dan penuh sukacita, Pdt. Arya Triyudanto, S.Si. Teol. ditahbiskan sebagai pendeta pertama GKJ Kanaan. Ibadah ini berlangsung khidmat, dipenuhi dengan pengharapan baru. Ibadah ini dipimpin langsung oleh Pendeta Konsulen, yaitu Pdt. Drs. Nugroho Adi Th.M, yang telah mendampingi GKJ Kanaan sejak proses pendewasaan. Penahbisan ini dihadiri oleh banyak pihak yang turut mendukung dan merayakan tonggak bersejarah ini. Hadir dalam ibadah tersebut para pendeta dari Klasis GKJ Jakarta Bagian Barat dan Bagian Timur, utusan dari Badan Pelaksana Klasis (Bapelklas) Jakarta Bagian Barat dan Timur, serta perwakilan Bapelklas GKJ Pekalongan Barat. Dukungan juga datang dari Sinode GKJ, PGI Wilayah Banten, Bimas Kristen Kementerian Agama Provinsi Banten, serta tokoh masyarakat setempat termasuk Camat Pesanggrahan dan tamu-tamu undangan lainnya dari berbagai gereja mitra dan komunitas.
Ibadah berlangsung khidmat dan mengharukan. Suasana syukur memenuhi ruangan ketika doa pentahbisan dinaikkan dan janji pelayanan diikrarkan. Jemaat menyambut peristiwa ini dengan penuh harap, karena kehadiran pendeta tetap akan semakin menguatkan pelayanan pastoral, pembinaan jemaat, dan arah kepemimpinan rohani gereja.
Dengan penahbisan ini, GKJ Kanaan telah memiliki perangkat kemajelisan yang lengkap. Selain pendeta, struktur pelayanan diperkuat oleh penatua dan diaken, berbagai komisi gerejawi, tim perizinan, tim verifikasi, serta pembantu majelis di tiap wilayah pelayanan.
Momentum ini menjadi peneguhan, bahwa GKJ Kanaan bukan lagi sekadar gereja yang mandiri secara administratif, tetapi juga secara fungsional dan spiritual. Gereja ini kini benar-benar siap untuk melayani, membina, dan menghadirkan kasih Tuhan dalam konteksnya — baik bagi warga jemaat maupun masyarakat luas.
Ibadah berlangsung khidmat dan mengharukan. Suasana syukur memenuhi ruangan ketika doa pentahbisan dinaikkan dan janji pelayanan diikrarkan. Jemaat menyambut peristiwa ini dengan penuh harap, karena kehadiran pendeta tetap akan semakin menguatkan pelayanan pastoral, pembinaan jemaat, dan arah kepemimpinan rohani gereja.
Dengan penahbisan ini, GKJ Kanaan telah memiliki perangkat kemajelisan yang lengkap. Selain pendeta, struktur pelayanan diperkuat oleh penatua dan diaken, berbagai komisi gerejawi, tim perizinan, tim verifikasi, serta pembantu majelis di tiap wilayah pelayanan.
Momentum ini menjadi peneguhan, bahwa GKJ Kanaan bukan lagi sekadar gereja yang mandiri secara administratif, tetapi juga secara fungsional dan spiritual. Gereja ini kini benar-benar siap untuk melayani, membina, dan menghadirkan kasih Tuhan dalam konteksnya — baik bagi warga jemaat maupun masyarakat luas.
(Work in Progress)