Bias Kognitif: Tantangan Mewujudkan Komunitas Yang Memulihkan

  • Updated
  • Posted in Artikel
  • 10 mins read

DARI KETERBUKAAN GLOBAL KE KESADARAN LOKAL

Di banyak negara Barat, isu kesehatan mental bukan lagi hal yang dibicarakan di balik pintu tertutup. Penelitian dan survei tentang kondisi psikologis masyarakat telah marak dilakukan, bahkan menjadi acuan kebijakan publik. Di Amerika Serikat contohnya, menurut National Institute of Mental Health (NIMH), 1 dari 5 orang dewasa mengalami masalah kesehatan mental setiap tahun, dan data dari National Alliance on Mental Illness (NAMI) memperlihatkan bahwa sekitar 1 dari 20 orang mengalami gangguan psikologis serius. Di Australia, survei nasional menunjukkan 21,5 persen warga berusia 16-85 tahun pernah mengalami gangguan mental dengan kecemasan sebagai masalah paling umum. Survei Ipsos 2024 (survei global terhadap responden di 31 negara) bahkan mencatat bahwa 45 persen responden menempatkan kesehatan mental sebagai masalah kesehatan utama, melampaui kekhawatiran akan kanker atau obesitas. Data-data ini bukan sekadar angka, melainkan menunjukkan keterbukaan masyarakat untuk mengakui kondisi mental mereka, membicarakannya secara publik, dan mencari pertolongan yang tepat.

Keterbukaan semacam ini mulai terlihat pula di Indonesia, meski masih dalam tahap awal. Sejumlah pengamat menilai bahwa isu kesehatan mental kini semakin mendapat perhatian publik, tetapi masih dibayangi stigma sosial yang kuat. Stigma ini sering kali menjauhkan orang dari penanganan terbaik yang seharusnya bisa mereka dapatkan. Banyak yang akhirnya memilih diam, menutupi masalahnya, atau hanya berbagi di lingkaran terbatas karena takut dianggap lemah atau “tidak normal.” Akibatnya, kesadaran yang mulai tumbuh belum selalu diikuti dengan keberanian untuk mencari pertolongan secara terbuka. Namun, tanda-tanda pergeseran tetap tampak. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya penelitian, buku, dan jurnal psikologi yang membahas isu kesehatan mental di Indonesia. Istilah-istilah seperti burnout, anxiety, toxic positivity, dan healing juga makin sering muncul di media sosial, seminar, hingga perbincangan komunitas termasuk di lingkungan gereja. Ini menunjukkan bahwa meskipun langkahnya belum sejauh negara Barat, kesadaran akan kesehatan mental di Indonesia mulai bertumbuh dan menemukan ruangnya di tengah masyarakat.

Fenomena di atas menunjukkan bahwa percakapan tentang kesehatan mental tidak lagi hanya milik ranah medis atau akademis, tetapi juga mulai hadir di lingkungan sosial dan religius. Di titik ini, gereja memiliki peluang dan tanggung jawab untuk menjadi bagian dari percakapan tersebut. Kesadaran akan kesehatan mental dalam komunitas gereja menjadi penting untuk dibangun, sebab banyak nilai iman Kristen yang sejatinya sejalan dengan konsep psikologi. Rasa syukur misalnya, selaras dengan konsep gratitude yang terbukti secara ilmiah dapat meningkatkan kesejahteraan mental. Ketangguhan iman yang bertahan di tengah pencobaan memiliki kedekatan makna dengan resilience. Pengampunan (forgiveness) yang diajarkan Tuhan Yesus terbukti mampu melepaskan beban emosional. Praktik sabbath rest atau beristirahat dalam Tuhan dapat dipandang sejalan dengan prinsip mindfulness yang menenangkan pikiran.

MELACAK AKAR BIAS KOGNITIF

Adanya keterhubungan nilai kekristenan dan konsep psikologi tidak serta-merta membuat pembahasan kesehatan mental mudah diterima di lingkungan gereja. Masih ada hambatan yang berakar pada cara berpikir dan budaya iman yang kuat, yang tanpa disadari dapat menghalangi jemaat untuk membuka diri terhadap bantuan psikologis. Mengakui bahwa diri sedang tidak baik-baik saja di kehidupan bergereja kadang dipandang sebagai tanda kelemahan rohani. Ungkapan seperti “saya baik-baik saja” atau “Tuhan pasti kuatkan” acapkali diucapkan bukan semata sebagai pengakuan iman tetapi sebagai cara untuk menutupi pergumulan batin. Pada lensa psikologi, hal ini dikenal sebagai bias kognitif, yakni pola pikir keliru atau menyimpang dari logika objektif yang sering kali dipengaruhi oleh emosi, keyakinan, dan norma sosial. Di konteks kehidupan bergereja, bias kognitif dapat tumbuh dari keyakinan bahwa “orang Kristen sejati harus selalu kuat” atau bahwa “iman saja cukup untuk mengatasi semua masalah.”

Akar dari bias ini dapat dilacak setidaknya dari dua sisi. Pertama, secara teologis, bias ini sering berakar pada penafsiran ayat Alkitab yang parsial atau dilepaskan dari konteksnya. Filipi 4:13, “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku,” kerap dimaknai seolah-olah orang percaya dapat mengatasi semua persoalan hanya dengan kekuatan iman, sehingga tidak memerlukan bentuk pertolongan lain. Padahal dalam konteks aslinya, Paulus sedang berbicara tentang kemampuannya bertahan dalam segala keadaan, baik berkelimpahan maupun berkekurangan. Ayat ini bukan menjadi jaminan bahwa seorang percaya akan selalu kuat tanpa pergumulan, melainkan penegasan bahwa kekuatan dari Kristus membuat kita mampu bertahan, termasuk dengan memanfaatkan sarana pertolongan yang Tuhan sediakan. Pada 1 Petrus 5:7, “Serahkanlah segala kekhawatiranmu kepada-Nya, sebab Ia memelihara kamu.” juga sering diartikan secara sempit bahwa menyerahkan kekhawatiran kepada Tuhan berarti otomatis terbebas dari rasa cemas. Penafsiran ini dapat menimbulkan rasa bersalah pada orang percaya yang masih merasakan kecemasan atau tekanan mental, seolah-olah mereka gagal mempercayai Tuhan. Makna ayat ini hendak mengajak kita untuk bersandar penuh pada Allah, sambil tetap menjalani proses pemulihan yang melibatkan dukungan komunitas dan pendampingan profesional.

Kedua, secara budaya, masyarakat Indonesia yang cenderung kolektivistik sangat menekankan pentingnya menjaga citra diri di hadapan komunitas.Harmoni sosial sering kali dianggap lebih penting daripada keterbukaan personal. Mengungkapkan kelemahan atau masalah pribadi bisa dipandang sebagai hal yang memalukan, karena dikhawatirkan akan “menjatuhkan” nama baik diri sendiri maupun keluarga. Dalam konteks budaya Jawa, nilai nrimo ing pandum (menerima bagian hidup apa adanya) dan tepo seliro (menjaga perasaan orang lain) memiliki peran ganda. Di satu sisi, keduanya menjadi kekuatan untuk membangun kerukunan, kesabaran, dan ketahanan. Namun di sisi lain, nilai-nilai ini dapat menghalangi keterbukaan dalam mengungkapkan pergumulan batin. Ungkapan seperti “sing sabar” (bersabarlah) atau “ora usah diceritakne, ben ora gawe susah wong liya” (tidak usah diceritakan supaya tidak merepotkan orang lain) sering dipakai untuk menghibur atau mendorong kesabaran, tetapi juga dapat mendorong seseorang untuk memendam masalahnya sendirian. Selain itu, rasa isin (malu) untuk “membuka aib” kepada orang lain – apalagi kepada pihak luar seperti konselor atau psikolog – semakin memperkuat dorongan untuk tampil “baik-baik saja” di hadapan jemaat.

Bias kognitif yang berakar pada pemahaman teologis yang keliru dan tekanan budaya ini membawa dampak nyata terhadap kesehatan mental jemaat. Menyembunyikan luka batin dan tekanan emosional hanya akan membuat stres menumpuk, yang dalam jangka panjang dapat memicu kecemasan, depresi, atau burnout. Ketika tidak tersedia ruang aman untuk bercerita, jemaat kehilangan kesempatan untuk memproses emosi secara sehat, sehingga pergumulan batin dibiarkan berputar di dalam diri tanpa arah penyelesaian. Lebih jauh, bias ini menurunkan motivasi untuk mencari pertolongan, baik kepada konselor profesional maupun pemimpin rohani yang terlatih. Akibatnya, masalah yang seharusnya dapat ditangani sejak dini justru berlarut-larut dan membesar. Ketika bias teologis dan bias kultural ini bertemu, lahirlah keyakinan yang mengakar kuat bahwa orang beriman harus selalu terlihat tegar dan cukup mengandalkan doa, tanpa memerlukan bantuan pihak lain—sebuah keyakinan yang pada akhirnya dapat menghambat proses pemulihan secara holistik.

PASTORAL TRANSFORMATIF: SEBAGAI TITIK BERANGKAT

GKJ memiliki pola pelayanan yang dikenal sebagai pastoral transformatif, yaitu model penggembalaan yang tidak berhenti pada pendampingan rohani saja, tetapi mendorong pada pembaruan hidup dan pemberdayaan. Setiap keputusan dan tindakan gereja diarahkan untuk menumbuhkan kemampuan jemaat dalam saling menginspirasi, memperbaiki hidup, mengampuni, menerima, memulihkan, melengkapi, dan memberdayakan. Tujuan akhirnya adalah menghadirkan tanda-tanda dari dambaan eskatologis, yakni masyarakat damai Sejahtera sebagaimana yang telah ditunjukkan dan diperjuangkan oleh Yesus Kristus, Sang Kepala Gereja.

Dalam kerangka yang demikian, isu kesehatan mental bukanlah ranah yang terpisah dari kehidupan bergereja melainkan bagian penting dari panggilan pastoral transformatif. Jemaat yang sehat secara rohani dan emosional akan lebih siap untuk mengasihi, melayani, dan menjadi saksi Kristus. Tiga upaya berikut dapat menjadi wujud nyata penerapan pastoral transformatif dalam merespons tantangan bias kognitif dan tekanan budaya yang kerap menghambat keterbukaan dalam isu kesehatan mental:

  1. Membangun awareness (kesadaran) iman dan emosi. Langkah awal yang penting adalah menumbuhkan kesadaran bahwa iman yang teguh tidak berarti kita harus selalu terlihat “baik-baik saja”. Yesus sendiri menangis di kubur Lazarus (Yoh. 11: 35) dan Nabi Elia pernah ingin menyerah karena beban hidup yang terlalu berat (1 Raj. 19: 4–8). Kisah-kisah ini menunjukkan bahwa mengakui pergumulan adalah bagian dari perjalanan iman, bukan tanda kegagalan rohani. Dalam psikologi, ini sejalan dengan emotional literacy yakni kemampuan mengenali, memahami, dan mengekspresikan emosi dengan tepat. Gereja dapat menumbuhkan kesadaran ini lewat ibadah tematik, renungan harian, atau kelompok diskusi yang mengaitkan kisah tokoh Alkitab dengan keterampilan mengelola emosi. Dengan demikian, jemaat belajar memandang kesehatan mental sebagai bagian dari ketaatan pada Tuhan yang memanggil kita untuk mengasihi diri dan sesama.

  2. Menjadi teladan dalam keterbukaan. Budaya keterbukaan di gereja sering kali dimulai dari para pemimpin. Saat Majelis atau pelayan gereja mau berbagi pergumulan hidup tanpa topeng kesempurnaan, jemaat akan melihat teladan nyata bahwa iman sejati tidak berarti bebas dari masalah. Daud dalam Mazmur berani mengungkapkan seluruh spektrum emosinya dari sukacita hingga ratapan di hadapan Tuhan. Dari sudut pandang psikologi sosial, keterbukaan seperti ini merupakan modeling yang kuat, karena perilaku pemimpin membentuk pola pikir jemaat. Program konkret bisa berupa sesi kesaksian dalam ibadah kategorial, forum internal di mana pemimpin berbagi cerita secara jujur, atau pertemuan informal yang memberi ruang aman untuk saling menguatkan. Dengan begitu, jemaat terbentuk menjadi komunitas yang saling menerima dan mengampuni, selaras dengan semangat pastoral transformatif.

  3. Mengintegrasikan kesehatan mental dalam pelayanan. Pemulihan yang utuh memerlukan perhatian pada seluruh aspek hidup: rohani, emosional, dan fisik. Pelayanan pastoral dapat diperkaya dengan teknik psikologi seperti active listening yang memberi ruang aman bagi jemaat untuk bercerita tanpa takut dihakimi. GKJ Kanaan misalnya, telah memiliki tim konseling gereja yang siap mendampingi jemaat dalam berbagai pergumulan. Tim ini dapat berkolaborasi dengan psikolog Kristen atau konselor profesional untuk memberikan layanan yang terarah dan berlandaskan Firman Tuhan. Bentuk pengembangannya dapat mencakup Counseling Corner setiap minggu, pembentukan support group tematik (remaja, pemuda, keluarga, adiyuswa), serta seminar atau retret bertema kesehatan jiwa. Prinsip sabbath rest yang diajarkan Alkitab dapat dikaitkan dengan konsep mindfulness, melatih kehadiran penuh secara intim di hadapan Tuhan, untuk membantu jemaat mengatur ritme hidup dan mengurangi stres. Dengan cara ini, pemulihan bukan hanya dialami individu, tetapi menjadi gerakan bersama yang memperkuat seluruh tubuh Kristus, memulihkan dan memberdayakan sebagaimana diamanatkan dalam pola pelayanan pastoral transformatif.

Menilik realitas sosial dan tantangan zaman, termasuk meningkatnya kesadaran sekaligus pergumulan jemaat terhadap isu kesehatan mental, GKJ terpanggil untuk tidak menutup mata. Pastoral transformatif yang menjadi pola pelayanannya memberikan dasar teologis yang kokoh untuk memberi ruang aman bagi jemaat berbicara, mendengar, dan dipulihkan. Ruang ini bukan sekadar wadah percakapan, melainkan perwujudan kasih Kristus yang menerima apa adanya, memulihkan tanpa menghakimi, dan memberdayakan agar setiap orang dapat kembali berjalan dalam pengharapan. Dengan begitu, perhatian pada kesehatan mental menjadi bagian alami dari panggilan GKJ untuk menghadirkan Kerajaan Allah di tengah dunia dengan mewujudkan damai sejahtera yang utuh, menyentuh kehidupan jemaat secara rohani dan emosional.

DAFTAR BACAAN
Baron, R. A., & Byrne, D. (2000). Social Psychology. Boston: Allyn& Bacon
Baumeister R.F & Bushman B. J. (2011). Social Psychology and Human Nature. USA: Belmont.
Ipsos. (2024). Global Health Service Monitor 2024. Ipsos. https://www.ipsos.com
National Alliance on Mental Illness (NAMI). (2023). Mental Health by the Numbers. NAMI. https://www.nami.org
National Institute of Mental Health (NIMH). (2023). Mental Illness. U.S. Department of Health and Human Services. https://www.nimh.nih.gov
Nurul Kusuma Hidayati. (2022). Wawancara media terkait stigma kesehatan mental [dikutip dalam naskah]. Universitas Gadjah Mada.
Peltzer, K., & Pengpid, S. (2018). High Prevalence of Depressive Symptoms in A National Sample of Adults in Indonesia: Childhood Adversity, Sociodemographic Factors and Health Risk Behaviour. Asian Journal of Psychiatry, 33, 52–59https://doi.org/10.1016/j.ajp.2018.03.017
Shiraev E.B & Levy D.A. (2017). Cross-Cultural Psychology Critical Thinking and Contemporary
Applications. New York & London: Routledge Taylor & Francis Group.
Sinode GKJ. (2018). Tata Gereja dan Tata Laksana Gereja Kristen Jawa. Jawa Tengah: Salatiga.
Statistics, Australian Bureau of. (2022). National Study of Mental Health and Wellbeing. ABS. https://www.abs.gov.au
World Health Organization. (2022). Mental health: Strengthening our response. WHO. https://www.who.int

Penulis: Arya Triyudanto & Jonson Siagian